Nikah Sirri (Tinjauan Hukum Syari’at dan Hukum Negara)
Menikah
seakan sudah menjadi sebuah keharusan bagi seseorang baik ia seorang laki-laki
maupun perempuan, seseorang akan di pandang sebelah mata oleh masyarakat jika sampai dirinya sudah tua tapi tidak
punya pasangan hidup, padahal secara
syaria’at menikah belum tentu itu wajib, bahkan menurut pendapat yang di
sepakati oleh jumhur Ulama hukum nikah adalah sunnah, akan tetapi hukum ini
bisa berubah jika ada faktor-faktor tertentu yang menyertainya. Akan tetapi
melihat realitas keadaan masyarakat sekarang kiranya suatu pernikahan sangat di
perlukan, untuk menjauhkan diri dari perbuatan dosa, terutama adalah perzinaan
yang marak terjadi. Akhir-akhir ini kembali mencuak kembali kasus nikah sirri
yang sebenarnya dulu pun sudah rame di peributkan yang mana mau tak mau harus
menilik kembali UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 dan 2 ayat 2
yang menyebutkan tentang pencatatan perkawinan dengan berbagai tata
caranya. Yang di perkuat dengan Inpres
RI no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 5 dan 6 yang
menyebutkan “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus di catat”
begiitu juga dalam pasal 6 di tegaskan bahwa “Perkawinan yang
dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak mempunyai
kekuatan hukum”. Pro dan kontra selalu menghiasi di setiap pembahasan yang sensitif
ini, dan ini adalah wajar. Menurut pengamatan penulis kebanyakan wanita berada
di kubu kontra, karena memang implikasi negative dari Nikah siri sering tertuju
pada pihak perempuan, sedang kan laki-laki banyak yang di kubu pro akan tetapi
perlu di ingat ini adalah kebanyakan orang, meskipun juga ada yang tidak. Oleh
karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin berusaha membahas kembali (karena
memang sudah sering di bahas sebelumnya) bagaimana sebenarnya hukum dari pada
Nikah siri tersebut.
Pembahasan.
Pembahasan.
Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang maha esa. Kapan suatu perkawinan di katakana sah?. Dalam buku
TANYA JAWAB Pondok pesantren putri Al ishlah, semarang di sebutkan bahwa “suatu
perkawinan di katakan sah apabila di lakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya dan di catat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Kalau berdasarkan pengertian ini maka nikah sirih adalah
termasuk perkawinan yang tidak sah, karena memang dalam nikah siri tidak ada
yang namanya pencatatan sebagaimana peraturan yang telah ditetapkan oleh
Negara. Akan tetapi menurut syari’at apabila semua rukun dan syaratnya sudah
terpenuhi maka suatu pernikahan sudah bisa di katakana sah. Diantara rukun dan
syarat nikah adalah: adanya calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang
saksi, ijab dan qabul. Sedangkan syarat-syaratnya menurut wahbah zuhaili
adalah: tidak ada hubungan nasab, sighat ijab qabul tidak di batasi waktu, adanya
persaksian, tidak ada paksaan, ada kejelasan calon suami istri, tidak sedang
ihram, ada mahar, tidak ada kesepakatan untuk menyembunyikan akad nikah, salah
satu calom mempelai tidak sedang menderita penyakit kronis, adanya wali.
Melihat syarat dan rukun nikah di atas maka nikah siri termasuk nikah yang sah
karena memenuhi syarat dan rukun nikah, hanya saja tidak ada catatan oleh Negara. Lantas bagaimana
status nikah siri sebenarnya?
Banyak aspek yang perlu di
kaji disini, dari segi normatif teks keagamaan maupun aspek mashlahah dan
mafsadahnya, secara normative teks keagamaan mengatakan nikah sirri itu sah,
walaupun ada memang sebagian ulama yang tidak menganggapnya sah, sedangkan
kalau di lihat dari aspek mashlahah dan mafsadahnya, nikah sirri jelas lebih
banyak mafsadah dari pada mashlahahnya, di antara mafsadahnya nikah sirri
adalah: karena nikah sirri ini tidak tercatat secara hukum, maka hal-hal yang
berhubungan dengan akibat pernikahan tidak bisa di selesaikan secara hukum.
Sebagai contoh hak istri untuk mendapatkan nafkah lahir maupun batin, akte
kelahiran anak tidak bisa diurus, hak pengasuhan anak, hak pendidikan anak, hak
waris istri, hak perwalian bagi anak perempuan, yang akan menikah dan masih
banyak problem-problem yang lain.
Sedangkan diantara
faktor-faktor yang melatar belakangi nikah siri adalah:
Ø Nikah sirri di lakukan karena hubungan yang
tidak di restui oleh orang tua kedua pihak atau salah satu pihak.
Ø Nikah sirri di lakukan dengan alasan seseorang
merasa sudah tidak bahagia dengan pasanganya, sehingga timbul niatan untuk
mencari pasangan lain.
Ø Nikah sirri dilakukan dengan dalih menghindari
dosa karena zina.
Ø Nikah sirri dilakukan karena pasangan merasa
belum siap secara materi dan social.
Ø Nikah sirri sering di tempatkan menjadi sebuah
pilihan ketika hendak berpoligami dengan sejumlah alasanya tersendiri.
Ø Nikah sirri di lakukan karena pasangan memang
tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum.
Ø Nikah sirri di lakukan hanya untuk penjajagan
dan menghalalkan hubungan badan saja.
Ø Nikah sirri dilakukan untuk menghindari beban
biaya dan prosedur administrasi yang berbelit-belit.
Ø Nikah sirri di lakukan karena alasan pernikahan
beda agama.
Banyak faktor memang yang
melatar belakangi orang untuk melakukan pernikahan secara sirri akan tetapi
secara umum tujuanya sama yaitu demi memperoleh keabsahan. Dengan berbagai
macam faktor yang melatar belakangi terjadinya nikah sirri di atas hampir
semuanya mengarah kepada posisi perkawinan sirri dipandang sebagai jalan yang
lebih mudah untuk menghalalkan hubungan suami isteri. Karena kenyataan di
masyarakat nikah sirri seakan menjadi kambing hitam, ataupun suatu pernikahan
di bawah tangan. Karena seumpama terjadi masalah dalam sebuah keluarga terutama
yang menimpa terhadap si istri, maka si istri tersebut tidak bisa mengadukanya
kepada aparat hukum atau di meja pengadilan, karena pernikahanya memang tidak
di catatkan, akhirnya tidak mempunyai bukti untuk di ajukan kepada muka hukum.
Oleh karena itu dalam kejadian nikah sirri sangat di khawatirkan akan
terjadi tindakan semena-mena yang di lakukan oleh sang suami, dan itu rentan
terjadi. Nikah sirri juga sering di jadikan untuk melakukan poligami, di
karenakan ia seorang PNS (pegawai negeri sipil) maka dia tidak bisa menikah
lagi secara biasanya, maka di ambillah nikah secara sirri sebagai jalan
pintasnya. Itu adalah sebagian kecil problem yang terjadi di dalam nikah sirri,
masih banyak kiranya problem-problem yang biasa terjadi dalam kasus nikah
sirri.
Meninjau
kembali keabsahan daripada nikah sirri secara syar’I, akan berbenturan dengan maqasid
asy syariah, atau tujuan di berlakukanya hukum syari’ah yang meliputi: 1.
Menjaga jiwa (Hifdz an nafs) 2.Menjaga Agama (Hifdz ad dien) 3.
Menjaga keturunan (Hifdz an nasl) 4. Menjaga akal (Hifdz al aql)
5. Menjaga Harta (Hifdz al mal). Oleh karena itu jika pernikahan sirri
di lakukan tanpa di catatkan kepada pihak yang berwenang, secara agama memang
bila sudah memenuhi rukun dan syaratnya nikah maka di katakana itu sah. Dengan
latar belakang khawatir terjadinya zina atau perbuatan lain yang melanggar
syari’at maka pernikahan semacam ini termasuk ke dalam tujuan hifdz ad dien dan hifdz an nasl.
akan tetapi tujuan itu hanyalah
bersifat sesaat setelah pernikahan berlangsung. Sedangkan dampak dari
perkawinan apa lagi perkawinan sirri yang sering terjadi adalah dalam rentang
yang panjang. Sementara maqashid asy syariah tidak di tujukan hanya untuk
ketenangan sesaat, akan tetapi untuk apa yang akan terjadi dalam jangka panjang
juga amat di perhatikan. Dengan memperhatikan berbagai aspek kajian, baik itu
kajian dari segi normative, psikologis, maupun mashlahah mafsadahnya, juga
merujuk kepada beberapa kaidah
fiqhiyyah, diantaranya:
a. Hukm
al hakim ilzam wa yarfa’u al khilaf.
b. Tasharruf
al imam ‘ala raiyatih manuthun bi al mashlahah.
c. Inna
ijtihada ulil amr huwa al ashlu al
tsalits minas-syari’ah al Islamiyah wa
innahum idza ajma’u ra’yahum wajaba ‘ala
al amah wa ‘ala hukkamiha al ‘amalu bih.
d. Dar’ul
mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih.
kami penulis lebih setuju nikah di katakan sah
apabila telah memenuhi beberaapa hal sebagai berikut: 1. Di lakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya (kalau islam harus memenuhi
syarat dan rukunya nikah) 2. Di catat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Maka apabila tidak memenuhi hal-hal di atas maka pernikahan itu belum bisa di
katakan sebagai pernikahan yang sah.
Penutup
Penutup
Al hamdulillah selesai sudah tulisan ini, kami
harapkan semoga tulisan ini nantinya bisa menjadi bahan bacaan yang bisa
bermanfaat, bisa menjadi bahan kajian lebih lanjut, serta setidaknya bisa
menjadi pengetahuan bagi para pembaca, amin. Kami juga minta ma’af
apabila ada kesalahan dalam penulisan kata atau dalam penyusunan kalimat. Dan akhirnya kritik dan saran selalu kami
nantikan dengan tangan terbuka.
Post a Comment for "Nikah Sirri (Tinjauan Hukum Syari’at dan Hukum Negara)"
Post a Comment