Bapak, Semoga Engkau Husnul Khatimah

Kita sebagai manusia memang benar-benar tak punya kuasa atas segala sesuatu, dan memang segala sesuatu adalah milik yang Maha Kuasa. Allah Swt. Bahkan atas diri sendiri kita sama sekali tak punya kuasa, kita yang sering mengatakan "Ini Mataku", kita tak punya kuasa atas mata kita, kita yang sering mengatakan "Ini Telingaku", kita tak punya kuasa atas telinga kita. Karena memang benar, mata, telinga, perut, dan seluruh anggota badan kita adalah milik Allah Swt, hanya berupa setitik kecil dari kuasa Alla Swt yang diberikan kepada kita, yang mana sama sekali kitak tak punya kuasa atas itu semua . Termasuk ketika kita sering mengatakan "Ini Hidupku" percayalah kita sama sekali tidak dan tidak akan dan sungguh tidak punya kuasa atas hidup kita sendiri, kehidupan adalah murni rahmat Allah Swt. yang diberikan kepada kita, dan hanya Dia lah Allah Swt yang punya kendali penuh atas kehidupan, kapan berawal dan kapan berakhir. 

Sungguh tak diduga, sungguh tak dinyana-nyana, entah mimpi apa atau ada firasat apa dulu sehingga sampai tulisan ini dibuat aku  masih sering berfikir, "Rasanya bapak masih hidup? Beliau belum meninggal!".
***
Kala itu, Sabtu legi, 25 Juni 2016 yang merupakan  hari ke-20 puasa Ramadhan mendadak menjadi "Yaumul huzni", hari dimana Bapak meninggal dunia, hari dimana Bapak diambil nyawanya dengan penuh kasih sayang oleh Allh Swt. Serius, bahkan aku sendiri sebagai anaknya dibuat iri olehnya. Jika tidak percaya, dengan senang hati aku akan menceritakanya.

Tulisan ini tidak bercerita tentang kesedihan seorang anak yang kehilangan Bapaknya, atau sebuah keluarga sederhana yang kehilangan sosok utama sebagai pemimpinnya. Namun sengaja aku tulis jauh-jauh hari setelahnya karena aku memilih untuk tidak menuliskanya dengan linangan air mata, namun memilih untuk menuliskanya dengan senyuman J.

Sehari sebelumnya, Jumat 24 Juni 2016
Hari itu berlalu seperti biasa, persis seperti hari-hari sebelumnya semua beraktifitas normal. Termasuk Bapak, hanya saja semenjak Bapak sakit pekerjaan laiknya menyapu sekolahan, beres-beres, dll lebih sering dikerjakan Ibuk. Pekerjaan yang menguras banyak tenaga Bapak sudah absen. Saat itu yang di rumah hanya aku, Bapak dan Ibu. Bertiga. Adek-adek masih pada di pondok. Bapak juga masih berangkat ke masjid untuk solat Jumat, boncengan berdua, tentu aku yang depan. Saat tiba waktu berbuka kita bertiga juga berbuka seperti biasanya, dilanjut berjamaah solat magrib, Bapak sebagai Imam dengan aku makmumnya.

Sabtu, 25 Juni 2015
Mataku masih melihat gelap saat dibangunkan Ibuk untuk bersahur, seperti ada sesuatu yang menggandul di pucuk kelopak menjadikanya berat untuk sekedar membuka. Sekitar pukul 03:30 Wib ibuk membangunkan. Singkat cerita kita bertiga akhirnya makan sahur pun tak ada yang berbeda persis seperti biasanya. Setelah sahur aku kembali ke kamar, maksud tidak untuk tidur kembali, namun akhirnya tertidur juga. Sedangkan Bapak dan Ibuk pergi ke Mushola untuk solat subuh berjamaah. Sehabis dari mushola aku dibangunkan ibuk untuk solat subuh. Setelah solat subuh aku kembali lagi ke kamar dan akhirnya tertidur juga (alamakk ..).
Sekitar jam 08:00 Wib, mungkin kurang. Aku terbangun dari tidurku setelah dengar ketokan-ketokan seperti orang sedang memaku, dan memang benar setelah bangun dan keluar kamar untuk cuci muka Bapak terlihat sedang memperbaiki kunci pintu, “Ndandosi nopo pak? (memperbaiki apa pak?)” , tanyaku basa-basi. “Iki ndandani kunci (Ini memperbaiki kunci -pintu-)”, jawabnya. Memang kunci pintu rumah kami kunci besi sederhana tipe slot, sering lepas sendiri dan susah untuk dimasukkan kembali, Sehingga menurut Bapak lebih baik diganti yang baru saja. Kunci yang sedang dipasang itu adalah kunci yang baru saja Bapak beli di Tawang, desa sebalah dari desa kami. Bapak beli sendiri dengan naik motor. Selain itu bapak juga membeli dua kaos engklek (singlet) putih dua, aku juga sempat melihat  Bapak sedang membuka-buka kresek hitam yang berisi kaos putih yang aku langsung tahu bahwa itu baru.

Sekitar pukul 09:00 Wib, aku di depan kelas IV SD mainan laptop. Saat itu masih utak-utek blog Semestaku ini, karena baru saja ganti lay out. Kelas IV adalah ruang kelas paling ujung yang pling dekat dengn rumah kami. Selama utak-utek blog sesekali aku keluar masuk rumah, entah untuk buang air kecil atau apa, dan Bapak terlihat sedang tidur pulas. Berulang kali aku  keluar masuk rumah, kira-kira 3-4 kali, dan Bapak masih terlihat sedang tertidur pulas. Tak terlihat batuk, atau sering pindah posisi.

Sekitar pukul 10:30 Wib, aku masih duduk di depan kelas IV, saat itu Ibuk masih membakar sampah di pinggir jalan aku lihat, dekat dengan gerbang sekolah. Bapak terlihat keluar di teras rumah. Sampai situ aku tidak merasa ada yang aneh karena memang Bapak juga sering batuk-batuk, yang menjadi aneh setelah sebelumnya berdiri kini Bapak duduk sambil memanggilku, “Sid.., sid..,” dengan tangan yang melambai, dengan nada tampak terburu-terburu pertanda sedang terjadi sesuatu genting. Aku langsung saja lari menghampiri, gemetar badanku melihat Bapak batuk mengeluarkan darah. “Ayo diter nang RSI (Rumah sakit )”, katanya. Aku langsung masuk rumah ngambil kontak dan helm, dan langsung starter motor. Melihat Bapak semakin lemas, ditambah dengan darah segar yang keluar dari mulutnya aku langsung teriak memanggil Ibuk, Ibuk langsung berlari menghampiri. Sama halnya aku, Ibu kaget melihat kejadian ini, langsung ia ambilkan potongan-potongan kecil es batu untuk Bapak mamah (Kunyah), sambil memeluk Bapak. “Mas, sampean nompak motor iseh kuat porak?” Seketika Ibu menanyakan, “Insyaallah Kuat”, Bapak menjawab. Aku yang berdiri di depannya bermaksud untuk langsung menggendong Bapak, terserah gimana caranya, tumpuk bertiga pikirku. Belum sempat aku gendong, bapak semakin lemas, “Sid nyegat motor kuning, nyegat motor kuning!!!” Kata Ibuk, Aku buang helm, sekuat tenaga aku lari ke tengah jalan, ya di tengah-tengah jalan aku menghadang mobil kunig yang biasa buat naik penumpang, namun tidak ada, mobil pribadi pun tak ada. Ya Allah, nyinyir hati rasanya. Apapun aku cari, ketemulah becak namun orangnya tidak mau menyanggupi. “Pak tulung Pak e mutah-mutah geteh, nyuwun tulung ter ten RSI”, dengan nada tersengal-sengal aku meminta. “Wah, aku rak wani”, mendengar jawaban itu rasanya becaknya mau aku genjot sendiri.

Untungnya ada yang punya mobil kap terbuka menghampiri dan alhamdulillah puji syukur mau mengantarkan, “Tulung ya mas, cepet!!” Pintaku, kembali aku berlari sekencang-kencangnya ke rumah. Tampak Bapak masih dalam pelukan Ibuk, darah segar masih terlihat membekas  di mulut. Tampaknya mobil nya butuh sedikit waktu untuk sampai ke rumah, benar-benar tak karuan rasanya. “Undang pak dhe, undang pak dhe”, Kata Ibuk, kembali aku lari sekencang tenaga ke rumah Pak Dhe, yang rumahnya ada di seberang jalan. Di rumah yang ada adalah kang yuk. Saudara. Aku langsung lari sekencang-kencangnya ke rumah, pertanyaan-pertanyaan warga tak sempat aku jawab. Aku jawab sambil berlari.
Sampai rumah mobil sudah terpakir, aku geram kenapa ndak langsung digendong ke mobil. “Mas ayok diangkat, ayok diangkat!!!”, pintaku sambil memegang tubuh Bapakku, air mataku tak terbendung, sontak meleleh mengalir deras membasahi pipi. Aku, Mas yg punya mobil dan Kang yuk yang menggendong tubuh Bapak ke mobil. Aku lihat Ibu langsung berlari,
“Mas bawa teng RSI !!!, Mas bawa teng RSI sakniki!!!” berulang kali aku meminta dengan nada memaksa. “Mas lha nak wes orak ono percuma ra nak di beto ten Rumah sakit”, kata masnya. Ya Allah, andai aku bisa menyetir, Aku setir sendiri itu Mobil !!! Aku tak percaya!

Aku kejar Ibuk, ia tampak berlari ke arah utara. Aku tahu pasti ibuk  akan memanggil dokter untuk memastikan, aku kejar sekuat tenaga dan hasilnya nihil dokternya tidak ada di rumah. Aku memaksa Ibuk untuk langsung membawa Bapak ke Rumah sakit saja, kita berdua sama-sama lari ke rumah, dengan perasaan antah berantah kita berlari sepeti orang gila. Tampak banyak warga sudah berkerumun ketika kita sampai rumah, terdengar isak tangis di dalam sana. Tampaknya tubuh Bapak sudah dipindah dibaringkan di kamar. Tangisku benar-benar pecah, aku pegang tangan Ibukku, sambil merengek aku bilang pada Ibuk untuk membawa Bapak ke Rumah sakit. Saat itu aku benar-benar menangis sejadi-jadinya, Aku benar-benar merasa kembali menjadi anak kecil yang menangis dan merengek ingin ditimang oleh orang tuanya. “Sidqon, wes sid, wes ancen tekdire pak e, seng sabar”, jawab Ibu. Berulang kali aku di gendong kekamarku sama orang-orang. Aku menangis karena nggak ada yang bisa aku lakukan, “Jenengan mbboten ngertos, seng ngertos niku dokter”, kataku tak percaya kalau Bapak sudah meninggal. Masih sambil terisak.

Semua orang sibuk mengurus perlengkapan kematian. Aku masih saja tak percaya lemas, terisak namun bukan pinsan. Karena aku 100% masih sadar. Sedih, tak percaya dan menyesal, campur aduk menyinyir hati membumbung hingga ke ubun-ubun. Tentu sedih karena ditinggal pergi selamanya, tak percaya karena sama-sekali tak diduga-duga seakan semua berlangsung begitu cepat, menyesal karena aku tidak bisa membawa Bapak ke Rumah sakit sesuai permintaanya kepadaku. “Kalau mau dipaksa di bawa ke rumah sakit, rumah sakit jauh, kasihan bapak”, Jelas Ibuk dan diamini oleh orang-orang.   

Waktu sudah lewat dhuhur, aku masih terbaring dikamar. Setelah diberi nasihat”, khususnya oleh bibi, akhirnya aku bisa bangkit mengambil air wudhu, dan sholat dhuhur. Setelah solat berulang kali aku berdoa, “Allahumma inkana hadzihil musibah haqqun, ij’alha khoirun lana wa khoirun lahu”, terus aku ulangi sampai entah sudah berapa kali.

Akhirnya aku bisa lebih tenang, kini aku bisa menatap wajah Bapak yang sudah dibaringkan di ruang tamu, hendak dimandikan. Aku pun tak mau ketinggalan untuk ikut memandikan, ini adalah kali prtama sekaligus terakhir kalinya aku memandikan Bapak.

Banyak yang tak menduga, banyak yang tak menyangka. Orang-orang pada cerita sendiri-sendiri “Loooh, mau subuh iki jeh jamaah nang langgar bareng kok”, “Loh mau ntes ae ketemu aku nok Tawang, meh tuku kunci jare”, “Loh ndek isuk iseh ngobrol bareng”, dan berbagai cerita versinya masing-masing. Sama dengan mereka bahkan aku dan Ibuk pun sama sekali tak menduga, sedikitpun tak ada kekhawatiran kalau 10 hari lagi kita bisa berlebaran bersama-sama, seperti lebaran-lebaran sebelumnya. Akhirnya Bapak dimakamkan sekitar pukul 17:00 Wib, setelah jadwal sebelumnya pukul 16:00 Wib, di undur karena menunggu adek-adek yang sedang perjalanan pulang, dan alhamdulillah mereka bisa sampai tepat sesaat sebelum jenazah Bapak diberangkatkan, yakni saat doa.

Sebagai informasi, memang Bapak sudah lama sakitnya. Kalau orang sini nyebutnya "Rumba-rumbu" pertama kali dulu sempet opname di puskesmas montong, kata dokternya tipes. Opname selama 3 hari dua malam, kemudian pulang. Setelah itu ya aktifitas seperti biasa, dan rawat jalan. Rutin juga cek gula dan gulanya terbilang tinggi. Tidak puas di puskesmas, akhirnya ke RSI, ke dokter dalam, karena Bapak sering batuk-batuk terus, bahkan hingga Bapak meninggal sebenarnya masih menunggu hasil ronsen yang beberapa hari lagi keluar. 

Bapak, semoga engkau Husnul Khatimah,
Sebagai anak aku akan bercerita tidak lebih tidak kurang, Bapak memang orangnya rajin solat, solatnya selalu di awal waktu, bahkan aku, adek-adek dan ibuk sering kena marah karena mengulur-ngulur waktu untuk mengerjakan solat.  Khusus untuk Magrib, Isya, dan Subuh Bapak rajin berjamaah di Mushola. Bapak juga tidak pernah absen solat Dluha, kala aku terbangun tengah malam juga tak jarang aku lihat bapak solat malam. Sebagai orang yang notabene lebih banyak mendapat pejaran agama, aku malu sendiri. Waktu meninggal Bapak juga masih dalam keadaan puasa, bahkan puasa Ramadhan kemarin hingga hari meninggalnya, Bapak tidak pernah tidak puasa. "Ndak abot mengko nyarutange -puasa-", begitulah jawaban Bapak kala disuruh ibuk supaya untuk tidak puasa aja, karena masih sakit. Tarawih pun bapak ndak absen, sepengetahuanku hanya satu atau dua kali bapak ndak tarawih karena kondisi yang tidak memungkinkan. Dikatakan ketika nyawa seseorang dicabut itu sakitnya bukan main, aku lihat bahwa Allah begitu lembut mencabut nyawa Bapak, sampai-sampai Ibuk tidak menyadari kapan naza' nya (ketika nyawanya dicabut), menurut Ibuk Bapak sudah tidak ada sejak masih ada di pelukanya, begitu lembut insyaallah. Meninggal di bulan penuh berkah, meninggal dalam keadan siyam, meninggal dalam pelukan dan dekapan sang istri. Sunggguh bikin iri, Semoga kita semua bisa dikumpulkan kembali besok di surga kelak. Allahummaghfir lahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu. Amiin... 
Nama: Kaeron bin Kastiah
Tempat, tgl lahir: Kendal, 08 September 1965
Wafat: Sabtu Legi, 25 Juni 2016 
/20 Ramadhan 1437 H
Istri: Muslimah
Anak: 
Nur sidqon 
Romdoni Isnan 
Khabib Khasbalah 
Yusril Makhroji
Saat Opname di puskesmas Montong

Silaturahim 2015

Kakak beradik, makam mereka bersebelahan

H-1 Lebaran 2016


Post a Comment for "Bapak, Semoga Engkau Husnul Khatimah"