Dilema Seorang Sarjana

Oleh karena itu -terlepas adanya jenjang
strata S1, S2, maupun S3- Seorang Mahasiswa menempati puncak pada rantai
pendidikan. Seorang Sarjana secara psikologi pribadi memiliki ego tersendiri.
Ego tersebut lebih mirip sebagai 'tanggung jawab sosial', dimana ia akan terus
dipantau oleh masyarakat. Tidak hanya sebatas mana tingkat keilmuanya, namun
merembet sampai 'apa pekerjaanya?'
Kita semua tahu, bahwa mencari ilmu (tholabul
'ilmi) itu wajib hukumnya. Bagaimana ia akan berislam? bagaimana ia
akan beriman? dan bagaimana ia akan berihsan? jika ia tidak berilmu. Oleh
karena itu pula ayat al Qur'an yang pertama kali turun berbunyi Iqra',
merupakan bentuk amar dari Madli Qaraa berarti
bacalah ! sedangkan aktifitas membaca merupakan salah satu usaha untuk
mentransformasisasikan ilmu.
Akan tetapi berbeda dengan thalabul
'ilmi-nya anak pesantren, atau anak madrasah. Tholabul ilmi-nya
Mahasiswa menurut penulis sudah bukan Tholabul 'ilmi kholishoh
lillahi ta'ala. Meskipun secara teoritis sebenernya bisa dibuat
untuk 'lillahi ta'ala', namun dalam teritorial lapangan itu
sulit untuk diaplikasikan. Banyak faktor yang menjadikan hal tersebut sulit
untuk dipraktekan. Salah satu diantaranya adalah niat, memang persoalan
niat adalah persoalan yang paling fundamental. Dalam hadis juga dikatan 'Innamal
a'malu binniyyat', bahwa amal seseorang itu tergantung niyatnya. Dan
dalam lanjutan hadis dikatakan pula 'wa innama likulli imriin ma
nawaa', dan seseorang hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia
niyatkan.
Bukan menjadi rahasia lagi apa sebenarnya
tujuan seseorang kuliah? jika ada yang menjawab, "Ingin mencari ilmu
karena Allah SWT", saya kira itu terlalu naif. Jawaban yang paling moderat
adalah, "Karena tuntutan Zaman", disamping juga sebagian kecil yang
karena 'ikut-ikutan nggak jelas'. Dahulu zamannya nenek buyut kita mungkin
kuliah dianggap sebagai kebutuhan tertier (mewah), jadi kurang lebih kuliah itu
merupakan jenjang pendidikan yang mewah, karena masih amat sedikit emank
orang yang kuliah. Namun zaman terus berevolusi, anggapan pada zaman dahulu sering
kali sudah tidak relevan lagi di zaman millenium ini. Sekarang kuliah -menurut
penulis- meningkat lagi mendekati kepada kebutuhan primer, bukan tanpa alasan
karena melihat tantangan masa depan selalu lebih berat dibanding masa sekarang,
jika pada masa sekarang kita tidak mempersiapkan apa-apa, maka dapat dipastikan
di masa depan kita tidak bisa berkutik apa-apa. Nah, salah satu persiapan yang
bisa dilakukan adalah dengan menempuh jenjang pendidikan di perguruan tinggi.
Kedepan, kompetisi dalam lapangan
pekerjaan tentu akan semakin kompetitif. Bisa kita angan-angan sendiri, dulu sarjana S1 dalam
benak seseorang saja sudah cukup membuat orang itu bergumam
"Waaah...", namun saat ini, sosok sarjana S1? "Ah, biasa
...". dalam batin. Ini membuktikan bahwa semakin kedepan 'harga jual'
seorang sarjana semakin merosot. Tidak jauh beda dengan nilai mata uang,
semakin tambah zaman nilai mata uang semakin turun tak berharga, bisa
dibuktikan dengan tidak berharganya uang Rp. 25, Rp.50 saat ini.
Oleh karena itu, seorang Mahasiswa sekarang (Wahai calon Sarjana) dituntut untuk selalu kreatif, inovatif serta pintar dalam memanfaatkan peluang, sekecil apa-pun itu peluangnya. Saya kira 'ego' yang selama ini terus mendarah daging di kalangan sarjana mulai sekarang harus ditanggalkan. Seorang sarjana tidak hanya berkutat di meja kantor atau dibalik meja rapat meeteng. Seorang sarjana tidak akan turun kasta, jika ia berjualan koran, berjualan gorengan ,semisal. Bukan maksud, menganjurkan seorang sarjana untuk jualan koran maupun jualan gorengan. Hanya mengajak untuk menanggalkan 'ego' yang selama ini mendarah daging di kalangan kaum sarjana. Seorang sarjana hanya akan turun kasta, jika apapun yang ia kerjakan tidak lebih baik dan tidak lebih manfaat dari mereka yang bukan sarjana, apapun itu!. Jika orang lain sama-sama bisa untuk bekerja keras, seorang sarjana disamping bisa bekerja keras juga harus bisa bekerja cerdas !
Post a Comment for "Dilema Seorang Sarjana"
Post a Comment