Rekontruksi Pola Pembelajaran Pesantren
Siapa
yang tidak kenal pondok pesantren? Pesantren merupakan sebuah
institusi yang menempa para pelajar baik putra maupun putri untuk belajar
mendalami ilmu agama yang ditempatkan di bilik-bilik sebuah bangunan. Pesantren
merupakan artefak peradaban indonesia yang diwariskan oleh para ulama
zaman dahulu. Hingga sekarang pesantren masih berdiri kokoh seiring pergantian
zaman dan kerasnya pergesekan arus kemodernan. Keberadaanya tidak hanya
dianggap sebagai lembaga pendidikan semata, tapi juga dipercaya sebagai
‘benteng moral’ di tengah-tengah degradasi yang dewasa ini marak terjadi.
Metode
pembelajaran yang dipakai di pesantren berbeda dengan yang
dipakai sebagaimana laiknya sekolah-sekolah umum. Di sana dikenal dengan sistem
musafahah, sorogan, Bandongan, dan takhashus yang tentunya tidak ditemukan
di sekolah-sekolah umum. Unsur-unsur seperti kiyai, santri dan kitab kuning
yang ada di pesantren tidak pula bisa disamakan dengan guru, siswa, dan buku.
Sehingga tidak heran apabila ada yang mengatakan bahwa metode pembelajaran yang
paling baik adalah metode pembelajaran yang selama ini diterapkan oleh
pesantren.
Akan
tetapi tradisi serta pola pembelajaran di pesantren kiranya patut dikritisi.
Sangat penting melakukan kritik terhadap pola pembelajaran-pembelajaran
pesantren –sebagaimana yang telah dilakukan terhadap sekolah-sekolah
umum-. Apalagi sempat ada anggapan bahwa “pesantren adalah sarang teroris”.
Diakui atau tidak memang anggapan tersebut ada benarnya, melihat pelaku teroris
pada lazimnya adalah jebolan ‘pesantren’. Yang mana hal ini akan berkaitan erat
dengan doktrin serta pola pembelajaran yang diberikan di pesantren tersebut.
Pembelajaran
di pesantren agar santri bisa membaca “kitab gundul” merupakan cara yang
efektif akan tetapi pada tingkat pengetahuan yang diberikan akan pemahaman
tentang isi kitab masih kurang. Ini terjadi karena proses pembelajaran yang
berlangsung cenderung monoton, indoktrinatif, teacher-centred,
text book, dan trop-down. Terlebih kurangnya
‘budaya bertanya’ yang terjadi di pesantren atau memang tidak diberikanya
kesempatan bagi santri untuk bertanya membuat santri harus menelan mentah-mentah
apa yang oleh kiyai atau ustadz sampaikan. Padahal hubungan dialogis dalam
sistem pembelajaran sangat perlu. Kiranya jargon “kiai menerangkan santri
tak sungkan mengacungkan tangan” harus mulai dibudayakan.
Perlu
adanya rekonstruksi hubungan santri dan kiai maupun ustadz dalam proses
pembelajaran. Dalam artian, santri tidak selamnya hanya diposisikan sebagai
objek. Objek yang sering ditimpakan kepada santri seharusnya diubah haluan
kepada realitas dan teks itu sendiri. Sehingga akan tercipta suasana yang
dialogis yang bersifat inter-subjek.
Pemaknaan
sebenarnya atas jihad mengalami pergeseran bahkan distorsi yang luar
biasa terjadi. Antusiasme santri tentang jihad membuktikan tingginya
spektrum jihad bagi mereka. Akan tetapi sayang tatkala masih ada kiyai-kiyai
yang mencekoki para santrinya dengan teks-teks keagamaan baik al Qur’an maupun
hadits berkenaan tentang jihad yang disertai dengan pemahaman yang dangkal,
tidak lebih hanya sebatas pemahaman tekstual. Inilah yang nantinya akan
berpotensi memproduksi santri-santri dengan pola pemikiran radikal. Dengan
mengatasnamakan Tuhan serta berlindung dibalik teks keagamaan ia tak segan
menggunakan cara fisik terhadap kelompok-kelompok yang diklaim tidak sejalan
dengan pemahamanya. Padahal menurut penulis jihad yang diperlukan umat muslim
era sekarang bukanlah jihad dengan mengangkat pedang melainkan “jihad
Intelektual”.
Rekonstruksi
ini merupakan peremajaan pola pikir kritis bagi para santri, mengingat
lingkungan pesantren biasanya langsung menstempel jelek bagi siapa saja santri
yang kritis. Seakan semua santri harus ‘bertekuk lutuk’ dihadapan semua tradisi
pesantren, dan terbungkam sejuta suara atas dogma pesantren yang sudah mendarah
daging sekian lama. “Seng penting barokah”, “Trimo ing pandum”, “ojo mbantah
mundak kuwalat” dan berbagai dogma lainya yang kebanyakan diterima atas intervensi
tradisi. Cara pandang inilah yang kiranya harus diubah. Perlu adanya
reinterpretasi atas makna ‘barokah’ serta ‘ikhlas’ yang dikalangan masyarakat
pesantren sering diterjemahkan sebagai ‘terimo ing pandum’. Jadi pada
batas-batas tertentu –tanpa mengurangi rasa hormat kepada kiyai- santri juga
perlu untuk mengeluarkan kritik maupun saran, bukan sebagai pembangkangan
ataupun bentuk ketidaktaatan. Paling tidak santri diberikan ruang untuk
bertanya ataupun sanggahan bila ia tidak sepaham atas keterangan yang diberikan
kiyai maupun ustadz. Baik dalam konteks Pembelajaran maupun di luar pembelajaran.(Wallahu a'lam)
1 comment for "Rekontruksi Pola Pembelajaran Pesantren"