KH. Turaichan Adjhuri as Syarofi

Mbah Tur (panggilan akrab KH. Turaichan Adjhuri Es-Syarofi) lahir di  Kudus 22 Rabi’ul Akhir 1334 H/10 Maret 1915 M. Beliau lahir dari pasangan KH. Adjhuri dan Ibu Nyai Dewi Sukainah. Semasa kecil menghabiskan waktunya untuk belajar, mengaji dan muthala’ah Kitab. Termasuk belajar falak yang ia tekuni secara autodidak, tapi ketika menemui kemusykilan/kesulitan atau tidak memahami sesuatu, beliau berkonsultasi dengan KH. Abdul Djalil (guru beliau). Selain itu, Mbah Tur dikenal sebagai anak yang cerdas, tegas, dan teliti. Mbah Tur pandai dalam bermain catur. Selain bermain catur, Mbah Tur juga sosok yang jago main Terbang Empat (rebana).

Ada beberapa sumber yang menyebutkan, bahwa beliau masih keturunan Syaikh Ja’far Shadiq (Sunan Kudus). Menurut KH. Khoiruzzad, Mbah Tur memiliki hubungan dengan garis keturunan KH. Mutamakkin (Kajen), yang mempunyai keturunan Ulama-ulama besar, seperti KH R. Asnawi, Raden Hambali, dan KH. Sahal Mahfudz.

Dari lampiran nasab yang diberikan oleh KH. Rofiq Chadziq (keponakan dari KH. Turaichan), diketahui bahwa kakek KH. Turaichan Adjhuri  yang bernama KH. Achmad Rifa’i memiliki nasab sampai Sunan Kudus dan Istri KH. Ahmad Rifa’i  yaitu Nyai Aminah (nenek KH. Turaichan) memiliki nasab sampai Syekh Achmad Mutamakkin (Kajen). Kedua silsilah tersebut didapat dari ibu beliau Dewi Sukainah (Istri dari KH.Adjhuri).

Dalam pendidikan formal, beliau sekolah di Madarsah Taswiquththullab Salafi (TBS) Kudus, mulai tahun berdirinya 1928. Di antara guru beliau adalah KH. Abdullah Al Jufri, KH. Muhith, dan KH. Abdul Jalil Hamid yang waktu itu mengampu ilmu falak. Selain menimba ilmu di TBS Kudus, beliau juga ngaji “bandongan” dengan beberapa kyai seperti: KH R. Asnawi, KH. Ma’sum bin Ali Kuaron dari Jombang (menantu KH. Hasyim Asy’ari), KH. Fauzan, KH. Ma’sum (ayah KH. Fauzan), KH. Muslim (kakak KH. Amin Said), dan masih banyak lagi guru-guru beliau yang lain. Dari KH. Abdul Jalil dan KH. Ma’sum bin Ali Kuaron inilah beliau mengenal ilmu falak, mengembangkannya sendiri dan membandingkannya dengan kitab-kitab ilmu falak lainnya seperti kitab al-Mathla’ as-Said.

Pada tahun 1942, ketika KH. Turaihan tepat berumur 27 tahun ia membangun rumah tangga dan menyunting seorang gadis bernama Masni`ah binti Marwan untuk dijadikan pendamping hidupnya. Dari pernikahannya dengan Nyai Masni`ah beliau dikaruniai 10 orang putera puteri.

Pada tahun 1969 untuk pertama kalinya beliau berangkat ibadah haji untuk pertama kalinya. Dan pada tahun 1992 beliau kembali berangkat haji ke tanah suci bersama puteranya yang bernama KH. Choirozad, dan ulama Kudus lainnya.

Begitu banyak jasa-jasa Mbah Tur bagi agama,  nusa, dan bangsa. Beliau telah pulang ke Rahmatullah pada malam Sabtu Pon 9 Jumadil Awal 1420 H/20 Agustus 1999 M dalam usia 84 tahun. Jenajah beliau dikebumikan di dekat makam Sunan Kudus, dengan ribuan umat yang menghujani air mata di sepanjang Jalan Menara. Keranda yang membungkus jenazahnya seakan-akan berjalan sendiri hingga ke liang lahat karena ribuan pelayat yang menyesaki jalan tak memberi ruang gerak bagi para pengusung keranda. Keranda jenazah pun bergerak dari tangan santri ke tangan santri lain.

Ia pergi meninggalkan Almanak Menara yang masih langgeng sampai sekarang. Ia meninggalkan empat anak dan mewariskan keahlian falak pada salah satu putranya yang bernama Sirril Wafa. Kyai itu juga meninggalkan dua santri kesayangan, yakni KH Noor Ahmad SS Kriyan di Jepara dan KH Ma’sum Rosyidi di Kudus.

Perjuangan KH Turaichan Adjhuri
      Ketika masih berusia 14 tahun, Mbah Tur sudah mengajar terutama bidang ilmu Falak dan ilmu Faroidh di TBS Kudus. Selain itu, beliau juga mengajar di kediamannya, di masjid, dan di tempat-tempat pengajian lainnya. Setiap Sya’ban, beliau mengajar kitab-kitab yang beliau ajarkan di TBS (tapi belum khatam). Biasanya untuk kesempatan ini banyak santri-santri TBS mempergunakannya dengan sebaik-baiknya. Mereka datang berduyun-duyun untuk mengaji di kediaman beliau demi mengkhatamkan sebuah kitab. Bagi santri mengkhatamkan sebuah kitab langsung di bawah asuhan seorang ulama besar adalah suatu kebahagiaan dan keberuntungan yang tiada taranya. Dan untuk Bulan Ramadan, beliau mengajar kitab-kitab tertentu, seperti Kitab Adzkiya’, Irsyad al-‘Ibad, dan Hikam. Namun, sekitar tahun 1980-an, Mbah Tur lebih sering mengajar kitab-kitab tentang teologi, mulai dari yang besar, seperti Dasuqi sampai yang kecil seperti: Tuhfatul Murid.

Hingga menjelang akhir hayatnya pada 20 Agustus 1999, ia termasuk ulama yang sangat antusias mendukung undang-undang pencatatan nikah oleh negara yang telah berlaku sejak 1946. Kyai Turaichan sangat getol menentang praktik-praktik nikah siri atau di bawah tangan. Menurutnya, selama hukum pemerintah berpijak pada kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka wajib bagi seluruh umat Muslim yang menjadi warga negara Indonesia untuk menaatinya. Artinya, pelanggaran atas suatu peraturan (undang-undang) tersebut adalah juga dihukumi sebagai kemaksiatan terhadap Allah. Demikian pun menaatinya, berarti adalah menaati peraturan Allah.Hal inilah yang membuat kharisma dan kealiman Kyai Turaichan semakin diperhitungkan. Tak heran, bila namanya sangat masyhur sangat ahli ilmu falak yang sangat disegani.
3.      Tak hanya dalam dunia pendidikan, Mbah Tur pun ikut andil di beberapa organisasi. Seperti halnya, aktif di Jajaran Nahdlatul Ulama (NU), menjadi anggota Mustasyar  dalam Muktamar NU, sebagai Tim Lajnah Falakiyyah NU, anggota panitia Ad Hoc pusat, dan juga sempat menjabat sebagai Rois Syuriah NU Cabang Kudus. Beliau merupakan salah seorang tim hisab rukyah Kemenag Pusat, merupakan salah satu kiprah beliau dalam mengharumkan nama kota Kudus. Selain itu, beliau juga sempat ditunjuknya sebagai qodli (hakim) di Kudus. Di dunia politik; menjadi anggota dewan konstituti mewakili NU yang kala itu menjadi parpol sekitar tahun 1955.

Kalender Menara Kudus: Kalender Berdasarkan Hisab Hakiki Tahqiqi
Ketepatannya dan kepiawaian Mbah Tur dalam perhitungan ilmu falaknya tak diragukan lagi, mulai dari penentuan awal bulan Hijriah, adanya gerhana, dan dalam penerbitan almanak (Kalender). Reputasinya sebagai pakar ilmu falak sudah terdengar sejak zaman Jepang. Beliau seringkali di minta menghitung jatuhnya hari awal dan akhir Ramadan. Beliau kemudian terdorong untuk menyusun almanak yang sampai saat ini masih berjalan dan dimanfaatkan oleh khalayak ramai, tak hanya masyarakat Kudus, bahkan sampai ke penjuru tanah air; yakni almanak atau kalender Menara Kudus.

Almanak Menara Kudus disusun KH Turaichan Adjhuri memakai hisab qath’i. Menurut penuturan Sirril Wafa data yang digunakan dalam perhitungan awal bulan Hijriyah oleh KH. Turaichan Adjhuri merupakan data yang berasal dari kitab al-Mathla’ as-Sa’id dan proses perhitungannya merujuk pada kitab al-Khulāshah al-Wafiyyah.

Setelah beliau wafat, penyusunan almanak Menara Kudus saat ini diteruskan Sirril Wafa (putra bungsu Turaichan Adjhuri).

Menurut KH Choirozyad (anak sulung Mbah Tur), mbah Tur  sangat produktif menyusun penanggalan. Lima tahun menjelang wafat, Turaichan masih mampu menyusun penanggalan untuk lima tahun ke depan. Sebelum meninggal dunia, ia telah mewariskan ilmunya ke Sirril Wafa. Kalender Menara Kudus diterbitkan pertama kali oleh Percetakan Masykuri Kudus pada tahun 1942 M/1361 H dan kemudian sejak 1950 M/1370 H sampai sekarang diterbitkan oleh Percetakan Kitab Menara Kudus.

Pada tahun 1951M/1371 H penanggalan hasil karyanya telah menjadi rujukan bagi sebagaian besar warga Nahdlatul Ulama di seluruh Indonesia dan juga memberikan kontribusi positif bagi pemerintah khususnya dalam bidang penanggalan.
Bukan hanya sekedar penanggalan biasa, banyak informasi yang termuat dalam almanak Menara Kudus. Informasi itu adalah:
  1.   Selain penanggalan Masehi dan Hijriah, ia juga memberikan informasi Penanggalan Jawa (pranotowongso) dan hari pasarannya.
  2.        Markaz perhitungan kalender Hijriahnya adalah Jawa Tengah.
  3.        Memuat data-data perhitungan awal bulan Kamariah setiap bulannya.
  4.         Terdapat data terjadinya peristiwa gerhana.
  5.         Ada pula Jadwal Salat untuk kota Yogyakarta, Semarang, dan Sekitarnya.
  6.        Menampilkan data tentang pengoreksian arah kiblat, yakni pada : 28 Mei pukul 16:18 WIB dan 16 Juli pukul 16:27 WIB. Saat itu matahari tepat di atas Ka’bah, bayang-bayang benda pada bidang yang datar saat itu tepat mengarah ke Ka’bah.


Turaichan Adjhuri:  Potret Galilio Galilei Indonesia
Mbah Tur adalah Galileo Galilei Indonesia. Ia menjadi duri bagi stabilitas pemerintah dan ”diadili” pada 1990 karena menentukan waktu Idul Fitri yang berbeda dari Pemerintah. Ketegasan beliau dalam memutuskan suatu masalah, dapat dirasakan oleh banyak kalangan, seperti saat menetapkan masalah dalam munadhoroh menara atau dalam Muktamar NU. Begitu juga dalam penetapan awal Ramadlan dan Syawal. Banyak masyarakat yang menggunakan, berpegang, dan berpedoman pada keputusan beliau alih-alih mengikuti  keputusan pemerintah dalam pelaksanaan sidang isbat.
Saat  gerhana matahari total menyapu wilayah Jawa dan Sumatera pada 11 Juni 1983. Pemerintah melakukan propaganda mengenai bahaya menatap langsung gerhana matahari. Propaganda tersebut akhirnya membuat orang kehilangan akal sehat, diliputi rasa ketakutan sehingga lebih memilih untuk “menatap” gerhana lewat layar televisi ketimbang menyaksikan suasana saat gerhana dengan mata kepala sendiri.

Mbah Tur  menentang maklumat pemerintah tersebut dengan menganjurkan umat melihat gerhana dan mendirikan salat gerhana. Permasalahan seputar gerhana ini bagi umat Islam Indonesia pada priode itu belum begitu familiar. Pada  masa pemerintahan Orde Baru, umat Islam dilarang untuk melakukan pengamatan gerhana matahari total pada saat itu. Kesalahan dan kekurang fahaman ini menyebabkan dampak phsikologis ketakutan  masyarakat terhadap peristiwa gerhana.

Pada waktu terjadi peristiwa gerhana Matahari total tersebut, mbah Tur memberi pengumuman kepada umat Muslim di Kudus, bahwa gerhana Matahari total adalah fenomena alam yang tidak akan menimbulkan dampak (penyakit) apa pun bagi manusia jika ingin melihatnya, bahkan Allahlah yang memerintahkan untuk melihatnya secara langsung.

Pada hari terjadinya gerhana Matahari total di tahun tersebut, Kyai Turaichan  berpidato di Masjid al-Aqsha, menara Kudus. Di tengah-tengah pidato, ia mengajak jamaah untuk menyaksikan langsung gerhana tersebut.
''Wahai Saudara-saudara, jika kalian tidak percaya, maka buktikan. Sekarang peristiwa yang dikatakan menakutkan, sedang berlangsung. Silakan keluar dan buktikan, bahwa Allah tidak menciptakan bala atau musibah darinya. Silakan keluar dan saksikan secara langsung!'' Maka, para jamaah pun lantas berhamburan keluar, menengadah ke langit dan menyaksikan secara langsung dengan mata kepala telanjang terjadinya gerhana Matahari total. Setelah beberapa saat, para jamaah kembali ke tempatnya semula, dan Kyai Turaichan melanjutkan pidatonya. Dan faktanya, memang tidak terjadi apa-apa, termasuk musibah yang didengungkan oleh pemerintah. Namun karena keberaniannya ini, Kyai Turaichan harus berhadapan dan mempertanggungjawabkan tindakannya di depan aparat negara yang represif waktu itu.

Turaichan adalah kisah kecil dari pembangkangan kaum astronom terhadap penguasa yang melakukan intervensi terhadap dunia ilmu pengetahuan. Kisah besarnya adalah Galileo Galilei (1564 -1642) yang terpenjara di Kota Arcetri, Italia, pada 1632 karena menebar madzab heliosentrisme--bahwa matahari adalah pusat semesta alam--seperti ditulisnya dalam Script Dialogue. Ia subversif terhadap doktrin gereja di bawah otoritas Paus Urbanus yang geosentrisme--bahwa bumilah pusat semesta alam. Jika Galileo penyokong Copernicus, Turaichan adalah penyokong Syekh Husein Zaid al-Misra, pengarang kitab Al-Mathla’ul Sa’id dari Mesir yang banyak memengaruhi pemikirannya.

Kontribusi Turaichan Adjhuri bagi Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia

Tiap menjelang Ramadan ia berdiri di pesisir pantai mengintip bulan pada saat matahari di ufuk barat terbenam. Hasil pengamatan tersebut selanjutnya menjadi landasan dalam mengeluarkan fatwa dalam penentuan awal Ramadan bagi Nahdliyin.

Pada tahun 1985, KH. Turaihan mendorong salah seorang muridnya yang ikut mengajar di Madrasah TBS yaitu Kyai Abu Saiful Mujab Noor Ahmad Ibn Shidiq Ibn Saryani untuk mengkodifikasikan semua ilmu Falak yang telah beliau ajarkan kepadanya dalam bentuk sebuah karya yang sesuai dengan perkembangan zaman modern. Akhirnya pada tahun 1986, lewat tangan muridnya itu terbitlah buku-buku diktat pengajaran ilmu Falak yang merupakan buah ilmu yang telah diajarkan oleh KH. Turaihan. Buku diktat itu langsung dilihat dan diperiksa oleh KH. Turaihan setelah sebelumnya terlebih dahulu di periksa dan ditashhih oleh Ustadz Ahmad Rofiq yang juga murid KH. Turaihan. Melihat terbitnya buku-buku itu, KH. Turaihan merasa lega dan ia merasa tidak perlu lagi menulis karya dalam ilmu Falak, sebab tulisan muridnya yang merangkum semua yang telah dia ajarkan sudah dirasa cukup.

Catatan Akhir
  1. Turaichan Adjhuri mencoba menyadarkan umat Islam  Indonesia pada saat terjadinya Gerhana Matahari Total 11 Juni 1983 bahwa gerhana matahari adalah peristiwa astronomi biasa yang tidak perlu ditakuti. Dan banyak pelajaran penting dan berharga yang bisa dipetik dibalik peristiwa tersebut. Manfaatkan kesempatan momen gerhana ini, untuk pendidikan anak mempelajari sains tentang gerhana, fenomena alam menakjubkan yang memuat tantangan intelektualitas manusia yang memikirkannya. Allah berfirman dalam surat Al-Furqan/ 25 ayat 45 dan 46 berikut:
Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang dan kalau dia menghendaki niscaya dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, Kemudian kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu. Kemudian kami menarik bayang-bayang itu kepada kami dengan tarikkan yang perlahan-lahan.

  1. Pada bagian bawah dan bagian belakang Kalender Menara Kudus terdapat Jadwal Salat untuk kota Yogyakarta, Semarang, dan Sekitarnya. Terdapat beberapa catatan untuk jadwal salat tersebut:
a)      Penjadwalan yang sama awal waktu salat untuk daerah Semarang dan Yogyakarta dirasakan kurang akurat secara ilmu Falak. Hal ini karena keduanya adalah dua kota yang berjauhan letaknya. Semarang terletak di jalur Pantura sedang Yogyakarta di daerah bagian selatan pulau Jawa. Berikut koordinat kedua daerah tersebut: Semarang Φ -7° 00’ LS     λ110°  24’BT Yogyakarta Φ -7° 48’ LS     λ110°  21’BT  karena kedua kota tersebut terletak pada koordinat lintang dan bujur yang berbeda. Potensi kurang akurat terhadap jadwal yang dihasilkan misalnya dalam perhitungan awal waktu salat Zuhur (yang selalu dijadikan patokan bagi perhitungan waktu-waktu salat yang lain pada hari yang sama) terdapat perhitungan KWD (koreksi waktu daerah) diperlukan data bujur tempat (λ). Selanjutnya dalam perhitungan sudut waktu matahari awal waktu salat menggunakan/memperhitungkan lintang tempat (Φ) kecuali untuk perhitungan awal Zuhur. Dengan demikian perbedaan lintang dan bujur tempat akan berpengaruh terhadap hasil perhitungan jadwal salat yang dihisab. Dapat dikatakan perbedaan bujur dan lintang tempat berpotensi menghasilkan jadwal salat berbeda/ tidak sama.
b)      Dalam jadwal salat untuk kota Yogyakarta, Semarang, dan Sekitarnya itu terdapat koreksian daerah sebagai berikut : Jakarta +14, Bandung +11, Cirebon +7, Serang +17, Banten +16, Anyer +18, Bandar Lampung +20, Brebes +6, Kudus/Solo -2, Surabaya -10, Banyuwangi -16, Sumenep -14, Pasuruan -10, Situbondo -14, Kediri -6, Blora -4, Gresik    -9, dan Malang -9. 

Koreksi daerah  yang biasanya dinyatakan bahwa perbedaan 1° bujur daerah dikonversi sama dengan perbedaan 4 menit untuk koreksian. Daerah yang berada di sebelah Timur kota yang dijadikan patokan koreksiannya dikurangkan sedang yang di sebelah Barat kota yang dijadikan patokan koreksiannya ditambahkan. Koreksian daerah ini tidak memperhitungan perbedaan lintang tempat dan juga ketinggian tempat. Penggunaan koreksian daerah ini hanya bisa digunakan untuk perhitungan awal waktu zuhur saja untuk daerah yang memiliki lintang yang sama dan hanya berbeda bujurnya. Untuk perhitungan waktu salat yang lainnya dianggap kurang atau tidak akurat. Berdasarkan hal ini penggunaan hasil perhitungan awal waktu salat berdasarkan koreksian daerah ini diperselisihkan/dipermasalahkan oleh kalangan ahli Falak. Dengan demikian jadwal salat yang akurat harus berdasarkan hasil perhitungan yang ril untuk daerah/ kota tersebut.
  1. Kalender Menara Kudus juga menyajikan data tentang pengoreksian arah kiblat, yakni pada 28 Mei pukul 16:18 WIB dan 16 Juli pukul 16:27 WIB. Saat itu matahari tepat di atas Ka’bah, bayang-bayang benda pada bidang yang datar saat itu tepat mengarah ke Ka’bah. Pernyataan tersebut perlu diklarifikasi sebagai berikut:
¬  Beberapa ahli Falak lain seperti KH Slamet Hambali dan Ahmad Izzuddin sebagaimana yang terdapat pada jadwal salat yang mereka keluarkan bersama menyatakan bahwa yaum rashd al-qiblah itu dinyatakan suatu hari yang pada hari tersebut matahari tepat berada di atas Ka’bah. Ini sebagaimana juga dalam press release arah kiblat yang pernah dikeluarkan oleh Kemenag. Ada baiknya pernyataan ini diklarifikasi terlebih dahulu dengan data-data ephimeris matahari pada saat itu. Jika kita mengecek tentang data matahari pada saat yaum rashd al-qiblah, data yang diperoleh tidak eksak menunjukkan bahwa deklinasi matahari pada saat itu sama dengan lintang Ka’bah. Misalnya jika kita melakukan pengecekan dengan program Mawaaqit versi 2001 (karya Khafid) dinyatakan sebagai berikut:

1.      Pada tanggal 28 Mei data δ (deklinasi matahari) pada jam 12:18 adalah 21° 28’ 12,2”. Adapun data lintang Ka’bah  adalah 21° 25’LU. Dengan demikian pada saat yaum rashd al-qiblah pada tanggal 28 Mei itu posisi matahari tidak tepat berada di atas Ka’bah tapi berada di utara Ka’bah. Tapi posisi matahari masih berada di sekitar kota Mekah.

2.      Pada  tanggal 16 Juli δ matahari pada jam 12:27 adalah 21° 20’. Adapun data  lintang Ka’bah adalah 21° 25’. Demikian juga hampir sama dengan kondisi pada tanggal 28 Mei di atas, pada tanggal 16 Juni ini pun posisi matahari tidak tepat berada di atas Ka’bah tapi berada di selatan Ka’bah. Tapi posisi matahari masih berada di sekitar kota Mekah.

Dari deklinasi matahari yang diperoleh di atas nyatalah bahwa matahari pada saat yaum rashd al-qiblat tidak tepat berada di atas Ka’bah tapi lebih tepat kalau dinyatakan berada di atas kota Mekah. Ini sesuai dengan pernyataan T Djamaluddin. Sehingga bayangan yang terbentuk pada saat itu mengarah ke kota Mekah; kota di mana tempat berdirinya Masjid al-Haram yang di dalamnya terdapat bangunan Ka’bah.
Pelaksanaan Yaum Rashd al-Qiblah pada tahun-tahun Kabisat, untuk bulan-bulan setelah bulan Februari ditambahkan satu hari. Sehingga dapat dinyatakan bahwa Yaum Rashd al-Qiblah itu menjadi tanggal  29  Mei dan 17  Juli.

Post a Comment for "KH. Turaichan Adjhuri as Syarofi "