Astrofotografi, Suatu Jalan Tengah Yang Terjal

picture by: bobs-spaces.net
Astrofotografi akhir-akhir ini menjadi trend topik pembahasan yang menarik. Konsep ini awal kali diusung oleh seorang Agus Mustofa Tokoh sekaligus penulis produktif Serial Diskusi Tasawuf Modern  yang disebut dengan Astrofotografi, yakni memotret dan merekam secara video posisi bulan sabit sebelum dan sesudah ijtimak. Tidak berbeda dengan konsep maupun metode lain, astrofotografi juga lahir berangkat dari rasa keprihatinan Agus Musthofa dengan keperbedaan yang selama ini terjadi di negeri ini. Berbicara masalah keperbedaan serta usaha untuk menyatukanya, sampai-sampai orang bosan mendengarnya saking seringnya dibahas. Namun toh hingga dewasa ini penyatuan masih berbentuk sebuah ‘harapan’ yang belum sempat terealisasi menjadi sebuah kenyataan.

Sampai saat ini pun pemerintah Indonesia masih dalam proses mencarikan titik temu antara hisab dan rukyat. Sehingga nantinya baik yang berpaham hisab, maupun rukyat bisa berjalan bersama-sama, beriringan tanpa saling berbeda satu sama lain. Oleh karena belum adanya titik temu, hal ini menjadi sebuah ajang kontestasi para pihak untuk turut memberikan sumbangsih pemikiranya yang nantinya diharapkan bisa menyelesaikan persoalan yang selama ini terjadi. Tak terkecuali dengan Astrofotografi yang digagas oleh Agus Mustofa.
Astrofotografi hadir dengan mengusung konsep baru, yakni Rukyat Qobla Ghurub atau lebih mudah dikenal dengan singkatan RQG. Oleh penggagasnya, RQG disebut sebagai sebuah upaya jalan tengah yang mempertemukan metode rukyat murni dengan hisab murni, ditambah dengan pemanfaatan sains dan teknologi yang mutakhir. Namun setelah Astrofotografi disampaikan ke publik, tidak sedikit pihak yang menolaknya.
Secara keilmuan astrofotografi merupakan terobosan baru bidang pemanfaatan teknologi modern untuk keperluan ibadah,  namun konsep yang digunakan didalamnya juga menerobos aturan yang selama ini dijadikan sebagai acuan. Sejak dulu, Rasulullah mencontohkan rukyat itu sesaat sesudah matahari terbenam (ghurub) dan saat matahari terbenamlah yang menjadi acuan baik dari golongan hisab maupun rukyat. Hingga akhirnya muncul konsep Astrofotografi yang dalam prakteknya, rukyat bisa dilakukan tanpa harus menunggu matahari terbenam terlebih dahulu. Akan tetapi setelah ijtima’ pun rukyat bisa dilakukan, karena sudah didukung dengan teknologi modern.
Tak arang banyak tokoh yang tidak mau menerima bahkan menolak secara tegas konsep yang diusulkan oleh Agus Mustofa ini. Bahkan menurut Thomas Djamaluddin , Profesor Riset Astronomi Astrofisika, LAPAN, alih-alih menjadi solusi perbedaan astrofotografi justru bisa menimbulkan masalah baru. Menurut Thomas, ketika rukyat dilakukan di siang hari itu bukan hilal. Karena bisa juga yang berhasil dilihat itu adalah bulan tua, bukan hilal.
Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat semisal, hilal didefinisikan sebagai Bulan sabit, yaitu Bulan Sabit yang tampak pada beberapa saat sesudah ijtima’. Sedangkan menurut  A Ghazalie Masroeri hilal menurut syari adalah bulan sabit yang memiliki cahaya lembut. Laksana benang yang tampak dan terlihat dengan mata di awal bulan sesaat setelah matahari terbenam. 
Sehingga dalam hal ini astrofotografi perlu dikaji lebih mendalam lagi, apakah dalam tataran mendefinisikan kata hilal, sehingga perlu di redivinisi ulang. Apakah dalam tataran metodologi, sehingga dianggap tidak sesuai dengan syar’i. Atau konsep Astrofotografi perlu dibaharui lagi suapaya bisa diterima oleh khalayak  umum.
*Dimuat di Majalah Zenith Edisi XII, Rubrik Editorial.

Post a Comment for "Astrofotografi, Suatu Jalan Tengah Yang Terjal"