Mengintip Sabit Sebelum Magrib


Judul Buku      : Mengintip Bulan Sabit Sebelum Maghrib
Penulis             : Agus Mustofa
Penerbit           : Padma Press
TahunTerbit     : 2014
TebalBuku       : 256 halaman
ISBN                : 978-979-1070-53-9
Harga Buku     : Rp. 60.000,-

Sila ke-3 dari dasar negara Indonesia yakni Pancasila berbunyi “Persatuan Indonesia”, mengisyaratkan bahwa memang sebenarnya bangsa ini dibangun demi  satu kesatuan. Namun dalam hal penentuan hari-hari besar Islam, semisal awal puasa Ramadhan dan Hari raya Idul Fitri kiranya masih sukar dari kata ‘persatuan’ sebagaimana yang tertuang dalam sila ke-3 dari Pancasila tersebut.

Selama puluhan tahun masyarakat terkadang harus rela ‘berbeda’ dengan tetangganya dalam merayakan hari raya,  atau sebisa mungkin mereka harus menjaga perasaan orang yang berbeda hari dalam merayakan Idul Fitri dengan dirinya. Fenomena ini sudah berlangsung hingga sekarang. Kini masyarakat menantikan saat dimana hangatnya merasakan rasa kebersamaan akan persatuan, tanpa harus saling berbeda satu sama lain.

Berbagai daya upaya sudah dilakukan untuk mewujudkan kata sepakat, mulai diskusi tingkat daerah, tingkat nasional hingga Seminar dan Lokakarya berkelas Internasional pun pernah diadakan. Semua usaha itu dilakukan hanya untuk mencapai solusi yang nantinya bisa menghasilkan kata sepakat untuk bersatu. Meskipun demikian, ‘berbeda’ sampai sekarang seakan masih menjadi satu-satunya pilihan. Jika ditelusuri, sebab keperbedaan itu akan berpangkal pada dua kata yang amat populer, yakni hisab dan rukyat. Yang jika ditelusur lebih lanjut lagi, kedua metode ini akan berhulu pada dua nama ormas besar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyyah (MD).

Kenyataan ini membuat Agus Musthofa merasa prihatin. Tokoh sekaligus penulis produktif Serial Diskusi Tasawuf Modern ini akhirnya turut serta memikirkan dan mengupayakan untuk mempersatukan umat yang sudah berselisih selama puluhan bahkan ratusan tahun. Hingga akhirnya Agus Mustofa berhasil menemukan gagasan baru, yang Ia sebut sebagai sebuah upaya jalan tengah untuk menjembatani perselisihan antara hisab dan rukyat.

Gagasan Agus Musthofa ini dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul, “Mengintip Bulan Sabit Sebelum Maghrib”. Dalam bukunya Agus Musthofa mengajukan beberapa usulan jalan tengah, namun diantara beberapa usulan, menurutnya jalan tengah yang lebih terpadu adalah dengan menggunakan metode hisab dan rukyat secara simultan. Hisab digunakan untuk mengetahui terjadinya peristiwa ijtimak, sedangkan rukyat digunakan untuk membuktikan bahwa peristiwa ijtimak itu memang sudah terjadi. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan teknik astrofotografi yakni memotret dan merekam secara video posisi bulan sabit sebelum dan sesudah ijtimak.

Upaya jalan tengah astrofotografi yang digagas oleh Agus Musthofa ini terinspirasi dari teknik Astrofotografi yang diperkenalkan oleh Thierry Legault, seorang Astrofotografer kelas dunia dari Prancis. Thierry sendiri juga merupakan pemegang rekor dunia dalam memotret bulan sangat tipis, yakni bulan sabit tipis saat konjungsi geosentrik alias ijtimak awal Ramadhan tahun 1434 H, persisnya pada tanggal 08 Juli 2013, pukul 14.14 WIB, atau pukul 07.14 GMT. Menurut penggagasnya astrofotografi bisa mempertemukan metode rukyat murni dan hisab murni, dalam arti yang sebenar-benarnya, ditambah dengan pemanfaatan sains dan teknologgi yang mutakhir.

Namun ketika gagasan ini mulai disampaikan ke publik, ternyata respon dari publik bermacam-macam. Tentunya sebagian ada yang pro dan ada yang kontra di sebagian lainya. Berbagai alasan diungkapkan bagi yang kontra, mulai dari gagasan ini pasti nantinya akan menimbulkan kontroversi, hingga metode ini dianggap tidak Syar’i. Memang dalam gagasanya, Agus Musthofa mengusung sebuah metode baru, yakni Rukyat Qobla Ghurub (RQG) sebagai acuanya. Dimana menurut sebagian kalangan rukyat sebelum matahari tenggelam tidak sesuai dengan dasar rukyat yang berlaku selama ini. Namun dalam bukunya Agus Mustofa menegaskan, RQG bukanlah IQG (Ijtima’ Qabla Ghurub). Pada IQG, kriteria hanya didasarkan kepada hisab belaka. Sedangkan pada RQG, hisab menempati sebagian kriteria, karena RQG mensyaraktkan pula adanya rukyat.

Meskipun demikian, terlepas dari pro dan kontra maupun kontroversi dari adanya gagasan tersebut. Hadirnya buku serta gagasan baru berupa astrofotografi ini patut diapresiasi, bagaimanapun juga ini adalah hasil upaya pemikiran seorang Agus Mustofa yang merasa rindu akan persatuan dan prihatin atas keperbedaan yang selama ini terjadi di Negeri ini. Dengan nada optimis kita mengatakan, “Boleh jadi penyatuan itu memang sulit, tapi sangat mungkin untuk dilakukan”. Bukanya dengan nada pesimis, “Penyatuan itu mungkin dilakukan, tapi sangat sulit”.


Dengan bahasa tulisan khas seorang Agus Musthofa, buku ini menjadi enak dibaca dan mudah dipahami. Dengan mudah pembaca akan langsung paham apa yang disampaikan dan dijelaskan oleh Agus Musthofa di tiap lembarnya.  

*Dimuat di Majalah Zenith Edisi XII

Post a Comment for "Mengintip Sabit Sebelum Magrib"