Kedudukan Matahari Dalam Waktu-waktu Sholat
Waktu-waktu shalat memiliki hubungan
dengan posisi matahari dilihat dari posisi geografis di permukaan bumi. Pada
siang hari altitude matahari adalah dia atas ufuk (+) , sedangkan di malam hari
altitude matahari adalah dibawah ufuk (-). Secara geometri waktu-waktu shalat
dapat di gambarkan sebagai berikut:
Shalat Zuhur
Awal waktu Zuhur dirumuskan sejak
seluruh bundaran matahari meninggalkan meridian (lingkaran besar langit yang
menghubungkan utara dan selatan), biasanya diambil sekitar 2 menit setelah
lewat tengah hari.[1] Saat berkulminasi atas pusat bundaran matahari berada di
meridian. Dalam realitasnya, untuk kepentingan praktis, waktu tengah cukup
diambil waktu tengah antara matahari terbit dan terbenam.
Oleh karenanya, waktu pertengahan
pada saat matahari di meredian langit (Meredian Pass) dirumuskan MP = 12- e.
Sesaat setelah waktu inilah sebagai permulaan waktu Dzuhur menurut waktu
pertengahan dan waktu ini pula lah sebagai pangkal hitungan untuk waktu-waktu
shalat lainnya.
Shalat Asar
Barang yang berdiri tegak lurus di
permukaan belum tentu memiliki bayangan, ketika matahari berkulminasi atau
berada di meridian. Bayangan itu terjadi manakala harga lintang tempat dan
harga deklinasi matahari itu berbeda.
Panjang bayangan yang terjadi pada
saat matahari berkulminasi adalah sebesartan ZM, dimana ZM adalah jarak sudut
antara zenit dan matahari ketika berkulminasi sepanjang meridian, yakni ZM =
(jarak antara Zenit dan matahari adalah sebesar harga muthlak Lintang dikurangi
Deklinasi Matahari)
Awal waktu Asar, berdasarkan
literatur-literatur fikih tidak ada kesepakatan. Hal ini dikarenakan fenomena
yang dijadikan dasar tidak jelas. Dalam hadis, Nabi SAW. Diajak salat Asar oleh
malaikat Jibril ketika panjang bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya dan
pada keesokan harinya Nabi diajak pada saat panjang bayangan dua kali tinggi
benda sebenarnya. Meskipun dapat disimpulkan bahwa awal Asar adalah sejak
bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, tapi masih menimbulkan beberapa
penafsiran karena fenomena seperti itu tidak dapat digeneralisasi sebab
bergantung pada musim atau posisi tahunan matahari. Pada musim dingin hal itu
bisa dicapai pada waktu Zuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena
bayangan selalu lebih panjang dari pada tongkatnya[2].
Pendapat yang memperhitungkan
panjang bayangan pada waktu Zuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali
panjang tongkat (di beberapa negara Eropa) dimaksudkan untuk mengatasi masalah
panjang bayangan pada musim dingin[3].
Badan
Hisab dan Ru'yat Departemen Agama RI menggunakan rumusan:
Panjang bayangan waktu asar =
bayangan waktu dzhuhur + tinggi bendanya
tan(za) = tan(zd) + 1.
Pendapat
Thomas Djamaluddin dikekemukakan bahwa makna hadits itu dapat difahami, salat Asar merupakan waktu
pertengahan antara Zuhur dan Maghrib, tanpa perlu memperhitungkan jarak zenit
matahari. Pendapat ini
diperkuat dengan ungkapan As Shalatil Wustha (salat yang di tengah-tengah)
dalam Q. S. Al-Baqarah ayat 238 yang ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir
sebagai salat Asar[4]. Jika pendapat ini yang digunakan, waktu Asar
akan lebih cepat dari jadwal salat yang berkembang selama ini.
Shalat magrib
Waktu magrib dimulai setelah
matahari terbenam (ghurub). Matahari terbenam apabila piringan matahari sudah
seluruhnya berada di bawah ufuk (buat keadaan terbit berlaku syarat-syarat yang
sama. Pada waktu itu garis ufuk bersinggungan dengan tepi piringan matahari
yang sebelah atas. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut.
Titik pusat matahari sudah agak jauh di bawah ufuk, jarak
dari garis ufuk ke titik pusat matahari besarnya seperdua garis tengah (semi
diameter) matahari. Jadi, jarak pusat matahari dari garis ufuk sebesar ½ × 32’
= 16’.[1]
Ketika matahari terbenam dimana posisinya di bawah ufuk, langit tidak langsung
gelap. Hal ini disebabkan adanya atmosfer bumi yang membiaskan cahaya matahari.
Karena itu, matahari harus tenggelam hingga belasan derajat di bawah ufuk
supaya tidak ada lagi cahaya matahari yang dapat dibiaskan sehingga
langit menjadi gelap. Waktu shalat magrib berakhir saat datangnya waktu shalat
isya’.[2]
Shalat Isya’
Waktu isya’ mulai
masuk apabila warna merah di langit bagian barat tempat matahari terbenam,
sudah hilang sama sekali (astronomical twilight). Pada saat astronomical twilight ini
altitude matahari adalah 18˚ di bawah ufuk (-18˚). Warna merah terjadi
karena pembiasan cahaya, cahaya matahari yang masuk di dalam rumah tidak
langsung sampai ke dalam rumah, tetapi benda-benda dalam rumah akan tampak oleh
mata, hal ini karena besarnya peranan partikel-partikel debu, yang jumlahnya
sangat besar memancarkan sinar matahari. Sinar yang tampak oleh mata pada umumnya berwarna putih,
yang sesungguhnya terdiri dari berbagai warna, tetapi yang paling penting
adalah warna biru dan merah. Tiap warna mempunyai ukuran panjang berbeda, yang
terpendek adalah biru sedangkan yang terrpanjang sinar merah.
Apabila sinar
matahari menemui dalam perjalananya partikel-partikel yang amat kecil, yang
ukuranya lebih pendek daripada panjang gelombang cahaya, maka terjadi
penyebaran luar biasa. Kadar
penyebaran cahaya oleh partikel-partikel yang sangat halus itu berbanding
sebagai kebalikan pangkat empat panjang gelombang.
Berhubung
dengan itu, cahaya biru disebarkan 9x lebih kuat daripada cahaya merah.
Akibatnya bahwa pada siang hari yang cerah, cahaya yang diterima mata,
terbanyak terdiri daari warna biru. Hal ini menyebabkan warna langit biru pada
siang hari.
Pada waktu
matahari terbit atau terbenam, cahaya yang berasal dari matahari sudah terlalu
banyak kehilangan unsur warna pendek sebelum sampai pada mata peninjau,
sehingga warnanya kelihatan kuning dan malahan merah. Jika partikel masih
menerima sinar matahari, cahaya merah masih dapat dilihat. Jika sudah terbenam
maka tidak kelihatan lagi (18 di bawah ufuk), jadi jarak zenit pusat matahari
sama dengan 108. Pada saat itu, waktu magrib berakhir dan masuklah waktu isyak
(90 + 18 =108).[3]
Shalat subuh
Waktu
shalat subuh adalah sejak terbit fajar shidiq sampai waktu terbit matahari.
Fajar shidiq dalam ilmu falak dipahami sebagai awal Astronomical twilidht
(fajar astronomi), cahaya ini mulai muncul di ufuk timur menjelang terbit
matahari pada saat matahari berada sekitar 18 derajat di bawah ufuk (atau jarak
zenith matahari = 108 derajat). Pendapat lain mengatakan bahwa terbitnya fajar
shidiq dimulai pada saat posisi matahari 20 derajat dibawah ufuk atau jarak
zenith matahari = 110 derajat (90 + 20).[4]
Shalat dluha
Waktu shalat
dluha dimulai ketika matahari mulai meninggi yakni sekitar satu tombak (7
dziro’) atau pada waktu tersebut ketinggian matahari sekitar 4° 30’. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah ketinggian matahari sekitar dua tombak
atau dalam ukuran ahli hisab
9°. Waktu Dluha berakhir ketika matahari tergelincir.
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kedudukan titik pusat matahari pada awal
waktu shalat, adalah sebagaiu berikut.
1. Awal waktu Zuhur : di meridian
2. Awal waktu ashar :
cotan h = tan zm + 1
3. Awal waktu magrib :
-01˚ (di bawah ufuk)
4. Awal waktu isyak :
-18˚ (dibawah ufuk)
5. Awal waktu shubuh :
-20˚ (di bawah ufuk)
[1] Drs. A. Jamil, Ilmu Falak (Teori &Aplikasi), Jakarta:
Amzah, 2009. Hal. 36
[3] Drs. A. Jamil, Ilmu Falak (Teori &Aplikasi), Jakarta:
Amzah, 2009. Hal. 44
[4] Slamet Hambali, Ilmu Falak 1, Semarang: Program Pasca
Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2011. Hal. 124.
2 comments for "Kedudukan Matahari Dalam Waktu-waktu Sholat"
Memang ada perbedaan pendapat dalam hal awal waktu Ashar. Namun definisi awal Waktu Asar yang lebih tepat, ketika panjang
bayangan sebuah benda sama dengan panjang benda tersebut ditambah panjang
bayangan waktu Dhuhur.