Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Al Qur'an Membincang Kesetaraan

Permasalahan gender sebenarnya sudah lama diperbincangkan. Namun, kenyataanya hingga sekarang permasalahan ini tidak kunjung surut diperbincangkan. Berbagai macam wacana hasil diskusi serta panggung seminar yang diadakan belum begitu terdistribusi ke khalayak umum. Sehingga gender masih saja menjadi gejolak realita dalam kehidupan masyarakat.

Anggapan adanya perbedaan peran serta adanya superioritas laki-laki terhadap perempuan dalam segala aspek kehidupan menjadi alasan utama bagi kaum feminis untuk terus berjuang atas nama keadilan dan kesetaraan. Tak ayal, teks-teks normatif keagamaan pun menjadi sorotan utama. Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung bias gender semarak dikaji ulang bahkan didekonstruksikan.
Dalam banyak ayat sering ditemukan mengenai konsep kesetaraan gender, meskipun demikian tidak sedikit pula ditemukan ayat-ayat Al-Qur’an yang nampaknya bertentangan dengan konsep ini. Secara redaksional tekstual ayat-ayat gender dalam Al-Qur’an -sebagaimana ditafsirkan umunya mufassir- cenderung lebih mengunggulkan laki-laki dibanding perempuan, Ini dapat di lihat dalam QS. al Nisa’[4]: 1 yang berbicara tentang proses awal penciptaan manusia, QS. al-Nisa’[4]: 3 yang berbicara tentang poligami, QS. al Nisa’ [4]: 34  tentang kepemimpinan dalam rumah tangga, QS. al Nisa’ [4]: 11 tentang kewarisan, QS. Yusuf[12]: 109 tentang perihal kenabian, QS. al Ahzab [33]: 33  tentang kesetaraan dalam ruang publik.

Ayat-ayat al Qur’an di atas jika dilihat dari segi redaksionalnya, terkesan lebih mengunggulkan kaum Adam dibandingkan kaum hawa. Sehingga bagi kaum feminisme dianggap sebagai suatu diskriminasi terhadap kaum perempuan.

Dari sini, muncul sebuah pertanyaan, apakah memang benar telah terjadi diskriminasi dalam Al-Qur’an?. Untuk menjawab pertanyaan itu Mohammad Nor Ichwan lewat bukunya berjudul “Membincang Persoalan Gender” berusaha mengkaji secara mendalam terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung bias gender. Lebih spesifik lagi buku ini merupakan hasil penelitian terhadap karya magnum opus Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Buah karya Prof. Dr. Quraish shihab.

Di bagian awal, penulis yang merupakan Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo ini terlebih dahulu mengenalkan kepada para pembaca seputar tafsir al misbah, mulai dari riwayat sang Mushannif (orang yang mengarang kitab), hingga kepada corak dan metode yang dipakai dalam tafsir al-misbah. Tafsir al-mishbah sendiri merupakan sebuah kitab tafsir yang disusun berdasarkan metode tahlili (analitik). Yaitu, sebuah bentuk karya tafsir yang berusaha untuk mengungkap kandungan Al-Qur’an dalam berbagai aspeknya (hal.58).

Sebagai umat beragama islam, tentunya dalam menyikapi persoalan gender ini tidak bisa dilepaskan dari nash, baik itu nash Al-Qur’an maupun hadits. Namun bagaimana jika nash Al-Qur’an malah nampak bertentangan dengan konsep kesetaraan?.

Sebagai contoh diktum Al-Qur’an dalam  al Nisa[4]:1, Menyatakan bahwa laki-laki (Adam a.s.) diciptakan dari tanah, sementara perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam (wa khalaqa minha zaujaha). Ayat ini menimbulkan perdebatan panjang dikalangan ahli tafsir dan para feminis. Keduanya saling konradiksionis. Sebab konsep yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam ini tidak saja berimplikasi pada sebuah pemahaman yang bias gender, tetapi juga berimplikasi secara psikologia, sosial, budaya, ekonomis dan politik (hal. 66).
Demikian itu memunculkan sebuah paradigma yang berarti “secara kualitas, Adam (laki-laki) lebih unggul dibandingkan dengan Hawa (perempuan).” 

Contoh lain terdapat dalam ayat 34 masih surat al Nisa, pada poin intinya menyatakan bahwa al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’, yang sering dipahami bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan (hal. 127). Yang dapat memberikan kesimpulan bahwa kepemimpinan dalam rumah tangga hanya ada di pihak laki-laki (suami). Padahal makna yang demikian inilah yang pada akhirnya banyak menimbulkan kritik, khususnya bagi praktisi gender. Oleh karenanya, model pemahaman yang demikian ini harus didekonstruksi dan di pahami ulang, sehingga akan didapatkan pemaknaan yang berkeadilan gender.

Dua contoh di atas merupakan sebagian dari masalah gender yang di dalam buku tersebut dikaji secara mendalam. Dalam bukunya Mohammad Nor Ichwan juga mengangkat beberapa permasalahan gender yang menjadi fokus kajian. Pertama: kesetaraan dalam penciptaan. Kedua: kesetaraan dalam perkawinan yang meliputi perwalian, poligami, dan kepemimpinan dalam rumah tangga. Ketiga: kesetaraan dalam kewarisan. Keempat: kesetaraan dalam kenabian dan Kelima: kesetaraan dalam ruang publik. Kesemuanya di bahas satu-persatu dalam buku tersebut.

Karena berhubungan langsung dengan nash al Qur’an sudah semestinya permasalahan gender masuk dalam ranah interpretasi dan penafsiran. Oleh karena itu, buku “membincang persoalan gender” karya Mohammad Nor Ichwan ini, patut dijadikan bahan bacaan dan rujukan. Terlebih lagi penulisannya sangat komunikatif dan dapat dibayangkan visualisasinya menjadi nilai tambah bagi buku ini.

Judul Buku      : Membincang Persoalan Gender
Penulis             : Mohammad Nor Ichwan
Penerbit           : Rasail
TahunTerbit     : Cetakan I, 2013
Tebal Buku      : 190
ISBN                : 978-979-1332-56-4
Harga Buku     : Rp 33.000

*Dimuat di justisia.com

Post a Comment for "Al Qur'an Membincang Kesetaraan"